Desa Itu Bernama Sukasari (1)

Ini adalah pengalaman ekspedisi terbaik saya selama menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Atmajaya Photography Club Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Setelah kelompok Merapi, Kawah Ijen, Semeru, dan Kawi, saya bersama enam orang teman memutuskan Gunung Patuha sebagai tujuan ekspedisi, yang nantinya akan dipamerankan dalam Gelar Karya Ring of Fire. Walaupun dengan informasi seadanya, hanya berdasarkan cerita pengalaman seorang anggota kelompok yang lupa-lupa ingat, serta tanpa contact person yang dapat dihubungi.

Ringkas cerita, setelah dua hari muak dengan urusan birokrasi akibat nyasar di perkebunan milik negara kawasan Gunung Malabar, kami sampai pada sebuah desa yang cukup terisolir. Hari mungkin masih menunjukkan pukul lima sore, tetapi kabut yang turun membuat suasana menjadi lebih petang dari biasanya. Tidak ada penerangan ditambah medan yang sulit membuat kami memutuskan berhenti di desa yang saya lupa namanya itu. Yang masih saya ingat hanyalah desa itu terletak di atas tebing tinggi bukit sebuah lembah. Ketika datang dengan mobil sewaan seorang tetangga rumah bapak yang menampung kami di kompleks perkebunan Malabar itu, anak-anak ramai menonton kami dari ketinggian, seperti sirkus. Dan pak supir segera melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Malabar.

Berkat kebaikan kepala desa beserta warga, kami dipersilakan untuk bermalam di balai desa yang hanya berupa pendopo sederhana dengan dinding anyaman bambu setinggi kurang dari 1 m dan tiang-tiang kayu reot hampir rubuh. Ditambah keadaan desa yang gelap gulita, hanya lampu pertomak atau lilin sebagai penerang dan penghangat dari udara yang luar biasa dingin. Ya, tidak semua desa memiliki genset untuk menyalakan listrik selama 3 jam, dari jam 6 sampai 9 malam.

Malam itu, kami membagi tiga kelompok kecil; tiga orang (termasuk teman yang pernah datang) berjalan ke atas bukit untuk mencari signal seluler. Mungkin memang ada informasi lebih lanjut kepada siapa kami dapat menggantungkan nasib ekspedisi kami. Dua orang menghadap ke kepala desa dan beberapa perangkat desa lainnya untuk menjelaskan maksud tujuan kami. Dan saya bersama satu orang teman mendirikan tenda.

Ringkas cerita lagi, teman yang mencari informasi tadi berhasil mendapatkan nama seseorang. Dan tugas kami esok hari, setelah juga mendapatkan sedikit info tentang seseorang tersebut dari warga desa, mencari sosok bernama Pak Warma.

Subuh, kami dibangunkan oleh seorang ibu yang baik hati memberikan kami satu teko air panas. Terimakasih Tuhan, Engkau telah menciptakan seorang ibu yang sedemikan baiknya itu. Buru-buru kami minum karena hanya dalam sekejab air berubah menjadi hangat karena dingin sampai ubun-ubun.

(lagi-lagi) Singkat cerita, kami dengan mengikut truk pengangkut teh sampai di kediaman Pak Warma yang berhasil kami temukan (atau beliau yang menemukan kami). Layaknya rumah desa lainnya, material dinding kayu memang sangat sosok untuk udara pegunungan yang luar biasa dingin tadi. Tetapi letak yang berada di atas bukit dan bentuk rumah menandakan strata manusia yang tinggal di dalamnya. Komposisi struktur desa berpusat pada sebuah surau yang berada di lapisan paling bawah lembah. Kemudian secara berkala dikelilingi rumah-rumah warga lainnya. Lapisan pertama dan kedua adalah warga dengan strata paling bawah atau warga dengan pekerjaan buruh pemetik teh biasa. Kemudian lapisan berikutnya dengan strata lebih tinggi setingkat mandor. Lalu mandor besar, dan paling atas adalah rumah dinas insinyur perkebunan.

Yang menarik di Gunung Patuha ternyata bukan hanya eksplorasi kebun teh dan pemetiknya. Tetapi cerita yang lumayan horor melingkup adat dan budaya yang sudah tercipta di sebuah kawasan yang mungkin orang Jakarta tidak sadar ada kehidupan di tempat ini. Sedikit cerita asal muasal Gunung Patuha;

Kepercayaan masyarakat sekitar tentang Patuha sebagai gunung tertua, berasal dari nama kota pak Tua (sepuh) membuat gunung tersebut dijuluki Gunung Sepuh. Tempatnya yang angker membuat daerah ini sangat terisolir dan tidak diketahui oleh orang. Warga percaya bahwa Gunung Patuha adalah tempat bersemayam arwah leluhur. Mereka juga mempercayai gunung tersebut menjadi pusat kerajaan bangsa jin, dan puncak Patuha sebagai tempat rapat leluhur tersebut. Percaya tidak percaya, tetapi kebanyakan orang kota tidak percaya, dan bagi saya itu bukan klenik; sejarah. Karena secara langsung saya mengalami hal-hal ‘klenik’ tersebut. Bahwa Kerajaan Padjajaran di Tanah Sunda ‘berperang’ melawan Kerajaan Majapahit di Jawa. Mereka tidak terima kedatangan kami, tujuh mahasiswa Jawa yang hendak berekspedisi. Meraka merasa terancam dengan kedatangan kami.

Sejarah mencatat, Gunung Patuha pernah meletus pada abad 10 dan 12 yang kemudian terbentuk danau yang sekarang dikenal dengan Kawah Putih. Alam yang indah dengan hamparan bukit-bukit kebun teh hijau dipadu dengan biru bersih langit dan di ujung pelupuk mata, dari ketinggian bukit tampak garis biru Laut Jawa selatan. Bukan main semesta ini Tuhan ciptaanmu. Udara dingin membuat kulit wajah saya mengelupas perih. Tetapi semua terbayarkan dengan apa yang saya lihat dan rasakan.

Pada 1837 seorang Jerman kemudian Belanda; Dr. Franz Wilhelm Junghuhn menemukan tempat tersembunyi itu, mencintai tempat itu, dan memilih beristirahat selamanya juga. Kuburannya terdapat di Taman Junghuhn, Desa Jayagiri, Lembang. Beliau juga dikenal sebagai bapak kina.

Bernama desa Sukasari. Seperti desa-desa lainnya, desa Sukasari terletak di salah satu lembah di Gunung Patuha. Dengan alasan alamiah bertahan dari keadaan suhu dan atau keadaan geografis lainnya, orang jaman dahulu memang lebih pandai dalam hal ini. Dengan berada di lembah setidaknya bukit-bukit yang mengelilingi desa dapat melindungi dari hempasan angin, kabut dari udara dingin.

Ketika orang kota menganggap ini terisolir, ya memang demikian. Bagi mereka yang terbiasa dengan kemudahan kehidupan urban tidak akan mampu bertahan hidup di desa yang memiliki keadaan jalan batu kali dan tanah dengan kanan tebing dan kiri jurang. Tetapi saya melihat kedamaian di sini. Manusia hidup berdampingan dengan adat, budaya, serta historika yang mereka hargai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *